Foto : Ilustrasi AI
45official, Lampung – Profesi wartawan memiliki standar etik dan independensi yang
harus dijaga. Namun, di berbagai daerah, masih ditemukan individu yang
merangkap sebagai wartawan sekaligus pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Praktik ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga mencederai integritas
profesi jurnalistik yang seharusnya bebas dari kepentingan lain.
Fenomena ini
semakin meresahkan ketika di lapangan, individu yang mengaku sebagai wartawan
juga membawa kartu identitas LSM. Mereka beralih peran sesuai situasi—kadang
sebagai wartawan, kadang sebagai aktivis. Hal ini berpotensi menyesatkan
publik, menciptakan konflik kepentingan, serta merusak kepercayaan terhadap
dunia jurnalistik.
“Kode etik
profesi harus dijaga. Wartawan memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan
informasi yang akurat dan berimbang, sementara LSM bergerak dalam advokasi dan
kepentingan tertentu. Tidak boleh ada duplikasi peran, karena wartawan yang
juga bertindak sebagai aktivis akan kehilangan netralitasnya,” ujar seorang
pemerhati media, Jumat (14/2/2024).
Dewan Pers telah
secara tegas melarang wartawan merangkap sebagai pekerja LSM. Ketua Komisi
Pengaduan dan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, menegaskan bahwa wartawan harus
menjalankan tugasnya dengan independensi penuh, tanpa terikat dengan
kepentingan advokasi atau agenda tertentu.
“Wartawan diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan tidak boleh bertindak sebagai
pekerja LSM. Ini pelanggaran serius yang mencederai profesionalisme dan
kepercayaan publik terhadap pers,” tegas Yadi Hendriana dalam pernyataannya
kepada RRI pada September 2023.
Aturan mengenai
larangan ini telah tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor
1/Peraturan-DP/III/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Regulasi tersebut
menegaskan bahwa wartawan harus bebas dari kepentingan di luar kerja
jurnalistik. Mereka tidak boleh terlibat dalam aktivitas advokasi atau
menjalankan misi yang bertentangan dengan prinsip jurnalistik.
Maraknya LSM
yang mengaku sebagai wartawan kini menjadi keresahan tersendiri di kalangan
jurnalis. Banyak wartawan profesional merasa profesi mereka dirusak oleh oknum
yang menyalahgunakan label “wartawan” untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Ada yang menggunakan identitas pers untuk menekan pihak tertentu, mengaku
melakukan investigasi jurnalistik, padahal sejatinya mereka berperan sebagai
aktivis atau bahkan alat kepentingan tertentu.
“Ini bukan
sekadar fenomena, tapi sudah menjadi ancaman bagi kredibilitas pers. Banyak
pihak yang dirugikan, mulai dari narasumber yang mendapat tekanan, hingga media
yang citranya hancur akibat ulah oknum tak bertanggung jawab,” kata seorang
wartawan senior di sebuah daerah yang enggan disebutkan namanya.
Lebih parah lagi, beberapa kasus menunjukkan bahwa oknum LSM yang mengaku
wartawan sering kali melakukan intimidasi terhadap narasumber demi kepentingan
tertentu. Padahal, prinsip utama jurnalistik adalah verifikasi, keberimbangan,
dan objektivitas. Jika wartawan bertindak seperti aktivis, maka kepercayaan
publik terhadap media akan terus menurun.
Untuk mencegah semakin rusaknya profesi jurnalis, Dewan Pers mengimbau media untuk memperketat pengawasan terhadap wartawan mereka. Wartawan sejati harus menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dan memastikan bahwa profesinya tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Jika tidak, maka jurnalisme yang sejatinya menjadi pilar demokrasi justru akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat. (man)
إرسال تعليق