Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mendorong KPK menindaklanjuti laporan Ikatan Wajib Pajak ndonesia (IWPI) tentang dugaan korupsi proyek Coretax Rp1,3 triliun.
"DPR saja akui Coretax bermasalah, sehingga layanan pajak dijalankan paralel dengan sistem lama (DJPOnline). Saya kira, KPK perlu segera tindaklanjuti laporan IWPI. Ini bentuk kegundahan para para pembayar pajak kita. Apalagi pajak sangat diharapkan oleh pemerintah saat ini yang baru saja memangkas anggaran," kata Boyamin, Jakarta, Sabtu (15/2/2025).
Selain itu, Mas Boy, sapaan akrabnya, mendesak Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo untuk mengundurkan iri. Selain karena sudah gagal memberikan layanan publik yang sempurna, proyeknya diduga bermasalah. "Seharusnya dia mundur, Kalau tidak diganti aja. Saya dengar beliau sudah terlalu lama di Dirjen Pajak," imbuhnya.
Meski tiga perusahaan global terlibat dalam pembangunan aplikasi layanan pajak berbasis digital Coretax, bukan berarti terjamin dari kesalahan. Terbukti, Coretax yang dibangun PritewaterhouseCoopers (PwC), LG CNS Qualysoft dan Deloitte Consulting, anggarannya Rp1,3 triliun, belum bisa beroperasi optimal hingga saat ini.
"Diduga software beli dari Eropa Timur. Kelas UKM (Usaha Kecil Menengah). Dipasang di Coretax untuk melayani sekitar 30 juta wajib pajak untuk ratusan juta transaksi. Ya jebol, tanpa mitigasi pula. Ujung-ujungnya, rakyat pembayar pajak yang rugi," tutur dia.
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan menduga ada kesalahan fatal dalam urutan proses perencanaan dan implementasi sistem Coretax.
Di mana, setiap pembuatan software harus mengikuti tiga tahap. "Pertama, proses bisnis. Pemerintah harus menetapkan dengan jelas bagaimana sistem perpajakan akan dijalankan," ungkap Rinto.
Kedua, lanjut Rinto, regulasi. Setelah proses bisnis terdefinisi, regulasi perlu disusun untuk mendukung pelaksanaan proses tersebut. "Ketiga soal teknologi dikembangkan atau diadakan sesuai kebutuhan yang sudah ditentukan sebelumnya," terangnya.
Namun, lanjut Rinto, kasus Coretax justru terbalik tahapannya. Tahap regulasi, pemerintah mendahulukan penerbitan Perpres 40/2018 tanpa memastikan proses bisnis yang solid. Tahap teknologi, Coretax dikembangkan menggunakan COTS (Commercial Off-The-Shelf), yaitu software setengah jadi yang diadaptasi dari sistem perpajakan Austria.
"Proses bisnis, pemerintah mengandalkan proses bisnis bawaan dari COTS tersebut. Padahal sistem itu dirancang untuk Austria, negara yang populasi hanya 9 juta jiwa dan negara dengan sistem perpajakan tidak serumit Indonesia. Karena semuanya salah, wajar jika semuanya nyungsep," kata Rinto.
Sedangkan Dirjen Pajak Suryo Utomo mengakui, Coretax mengalami berbagai kendala sejak diluncurkan 1 Januari 2025. Sejatinya, sistem ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan. Namun, gangguan teknis yang terjadi dalam sebulan terakhir menimbulkan kekhawatiran akan berdampak kepada penerimaan negara.
Namun, Suryo menegaskan bahwa hingga saat ini, belum terlihat dampak signifikan terhadap penerimaan pajak akibat kendala pada core tax tersebut. Menurutnya, evaluasi penerimaan pajak baru bisa dilakukan setelah periode pelaporan pajak berjalan sepenuhnya.
“Ini kan dampaknya baru kelihatan nanti besok ya, karena yang Januari lapornya di bulan Februari,” kata Suryo kepada awak media di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/2/2025).
(Iwan Purwantono)
Posting Komentar